Bitung, Sulut | media warataperubahan.com — pada hari Minggu, 12 Oktober 2025 — Aroma busuk ketidakadilan kembali menyengat dari Kota Bitung. Kasus kecelakaan tragis yang terjadi di depan Pasar Jajan Bitung pada Sabtu, 20 September 2025, kini menyeruak menjadi sorotan publik setelah muncul dugaan keberpihakan aparat kepolisian terhadap pemilik mobil Grand Max hitam yang menabrak dua anak di bawah umur.
Kecelakaan yang terjadi sekitar pukul 13.25 WITA itu melibatkan mobil Grand Max yang dikemudikan Steven Katiandanggo, dengan sepeda motor Mio merah yang dikendarai Micaila Pangemanan (13) dan Jainab Usman (12).
Benturan keras membuat kedua anak malang itu terpental ke aspal dengan luka serius di kepala dan tubuh. Keduanya harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Budi Mulia Bitung.
Namun di balik tragedi itu, muncul fakta yang lebih menyakitkan: pemilik mobil sama sekali tak menunjukkan tanggung jawab moral maupun hukum.
“Selama di rumah sakit memang ditanggung asuransi, tapi setelah anak-anak pulang, biaya perawatan lanjutan semua kami tanggung sendiri. Mereka belum bisa sekolah sampai sekarang,” ujar Romi Usman, ayah salah satu korban, dengan nada getir.
Dugaan paling serius datang dari penanganan kepolisian. Sejumlah saksi menyebut ada oknum polisi lalu lintas berinisial (AS) yang diduga secara terang-terangan memihak kepada pelaku dan mengarahkan proses hukum agar kasus ini “diselesaikan secara damai”.
Langkah itu dinilai publik sebagai bentuk pencideraan terhadap prinsip netralitas dan keadilan hukum.
Keluarga korban kini mempertanyakan, mengapa hingga kini tidak ada kejelasan penetapan tersangka, padahal bukti dan saksi sudah jelas menunjukkan kelalaian pengemudi mobil Grand Max.
Kalau bukan karena status sosial dan kekuasaan, tidak mungkin polisi diam saja begini,” ujar salah satu saksi yang enggan disebut namanya.
Ketua Ratu Prabu – Centert 08 Sulawesi Utara, Ustadz Adrianto Kaiko, mengecam keras dugaan keberpihakan aparat dan diamnya lembaga perlindungan anak terhadap kasus memilukan ini.
Korban masih anak-anak, seharusnya dilindungi, bukan diabaikan. Jika benar ada oknum polisi yang berpihak pada pelaku, ini bukan sekadar pelanggaran etik — tapi pengkhianatan terhadap sumpah Bhayangkara!” tegasnya.
Ia juga menyoroti Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) yang hingga kini belum mengambil sikap atau pendampingan hukum kepada kedua korban. “KPPA jangan hanya aktif saat kamera media menyorot. Di sinilah ujian sejati mereka: apakah benar-benar membela anak-anak, atau hanya simbol di atas kertas?” sindirnya
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
●Pasal 231 ayat (1) mewajibkan pengemudi, pemilik, atau perusahaan angkutan bertanggung jawab atas kerugian korban kecelakaan.
●Pasal 310 ayat (4) dengan tegas menyebut, jika mengakibatkan luka berat atau kematian, pelaku bisa dipenjara hingga 10 tahun dan denda Rp20 juta.
Sementara menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
●Pasal 59 ayat (2) menegaskan kewajiban negara memberi perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan fisik atau psikis.
Namun dalam kasus ini, baik Polres Bitung maupun KPPA justru seolah membiarkan dua anak korban tabrakan berjuang sendiri tanpa perlindungan hukum.
Kasus ini bukan hanya tentang kecelakaan, tetapi tentang wajah hukum yang pincang. Ketika aparat berpihak dan lembaga perlindungan bungkam, masyarakat dipaksa menelan pahitnya kenyataan: keadilan hanya berpihak kepada yang punya kekuasaan dan uang.
Rakyat menanti langkah tegas dari Kapolres Bitung AKBP Albert Zai, S.I.K., M.H., dan Kasat Lantas AKP Dwi Dea Anggraini, S.Tr.K., S.I.K., M.H. untuk membersihkan nama institusi mereka dari dugaan memalukan ini — bukan dengan alasan, tapi dengan tindakan nyata dan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Pungkasnya,” Ridwan musa





Kasus ini bukan hanya tentang kecelakaan, tetapi tentang wajah hukum yang pincang. Ketika aparat berpihak dan lembaga perlindungan bungkam, masyarakat dipaksa menelan pahitnya kenyataan: keadilan hanya berpihak kepada yang punya kekuasaan dan uang.





























